Laman

Jonggol Kota Mandiri Wacana Ibukota (3)

Koran Cikarang - Potensi wilayah Jonggol bukan hanya kekayaan sumber daya alam hasil tambang yang selama ini telah dinikmati. Jonggol juga telah beberapa kali diwacanakan untuk menggantikan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan RI.

Pada awal 2008 ini, tepatnya pada Februari lalu, ibukota Jakarta kembali dilanda banjir cukup besar. Banjir kala itu merendam hampir sebagian besar jalan protokol dan pemukiman di Jakarta.

 Akibatnya, akses dari dan menuju Jakarta menjadi lumpuh total. Kerugian diakibatkan banjir-pun berjumlah cukup besar. Jika kemacetan yang terjadi setiap harinya saja telah menelan kerugian sebesar Rp 43 triliun, lantas bisa dibayangkan berapa kali lipat kerugiannya jika Jakarta mengalami lumpuh total.

 Karena alasan tersebut, banyak pihak pada akhirnya berpendapat agar pusat pemerintahan RI dipindahkan saja ke Jonggol, Kabupaten Bogor. Konon di negara lain melakukan langkah serupa, jadi Jonggol bisa jadi ibukota pemerintahan, sedangkan pusat bisnis di Jakarta.

Pilihan jatuh ke wilayah Jonggol karena diprediksi dapat menghemat biaya, di samping relatif dekat dengan Jakarta. Karena alasan ini, maka semakin banyak pihak menyuarakan tekadnya untuk mendorong pemindahan ibukota pemerintahan ke Jonggol.

 Konon, Jonggol berpotensi menjadi lokasi untuk bisa dikembangkan menjadi pusat pemerintahan yang bisa seperti “one stop shopping”. Mengurus surat di pemerintahan jadi lebih mudah, seperti dilakukan pusat pemerintahan Putra Jaya, Malaysia.

Terkait pengembangan Jonggol sebagai “kota moderen,” jauh sebelum munculnya wacana pemindahan pusat pemerintahan RI tersebut, Jonggol pernah direncanakan sebagai Kota Mandiri. Tidak tanggung-tanggung, untuk memuluskan proyek Jonggol sebagai Kota Mandiri, Presiden Soeharto (alm) mengeluarkan Keppres nomor 1 tahun 1997 tentang koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.

 Secara legal maupun materi muatan, Keppres ini tidak bermasalah. Namun, dari segi review, Keppres ini mengandung kepentingan keluarga. Pada Pasal 8 Keppres ini disebutkan, "segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dilakukan sepenuhnya oleh usaha swasta".

Sementara penyelenggara pembangunan kawasan Jonggol ini, sebelumnya telah ditunjuk PT Bukit Jonggol Asri yang sahamnya dimiliki Bambang Trihatmodjo, putra mantan presiden RI kedua. Dengan "lengser"nya Presiden Soeharto pada 1998, praktis impian membangun kota masa depan sirna untuk sementara. Namun sebenarnya ada untungnya pula proyek ini dibatalkan karena kawasan Jonggol merupakan daerah resapan air.

Apa jadinya kota Jakarta, jika Jonggol telah dipenuhi dengan hutan gedung bertingkat. Selain tidak dilengkapi dengan amdal, proyek Jonggol juga banyak masalah dalam pembebasan lahan. Kota Jonggol Asri pada awalnya akan di-setting menjadi kota mandiri dengan menjadikannya sebagai kota baru terbesar dengan luas lahan sekitar 27 ribu hektare.

Rencananya, Jonggol memang akan diarahkan sebagai kota pemerintahan RI di abad mendatang. Ketika itu, sempat bergulir juga tuduhan sejumlah pelayanan spesial Nuriana kepada keluarga Cendana. Nuriana yang saat itu menjadi gubernur Jawa Barat ini disebut-sebut sebagai penggagas ide dua proyek raksasa, yakni pembangunan Kota Mandiri Bukit Jonggol Indah, Bogor, dan reklamasi Pantai Kapuk Naga, Tangerang.

Selanjutnya gagasan Nuriana ini ditangkap Bambang Trihatmodjo, anak ketiga bekas Presiden Soeharto. Melalui perusahaan konsorsium PT Bukit Jonggol Asri, Bambang Tri mendapat hak untuk membebaskan 30 ribu hektare lahan Jonggol atau hampir setengah wilayah DKI Jakarta.

Namun, ketika Bukit Jonggol Asri baru membebaskan sekitar 11 ribu hektare, Soeharto keburu lengser. Mega proyek Jonggol sebagai kota Mandiri pada akhirnya terpuruk dan tidak mendapatkan kejelasan hingga saat ini.

 Sementara itu, Nuriana dengan tegas menepis tudingan itu. Menurutnya, kedua megaproyek itu bukanlah idenya. Landasan hukumnya adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 1997 dan Nomor 73 Tahun 1996. Pada akhirnya, ketika Soeharto digantikan Presiden Habibie, dua Keppres tersebut dengan segera dicabut. Namun kini, wacana Jonggol sebagai pusat pemerintahan RI telah telah muncul kembali. Akankah segera terealisasi?

 Rugi & Untung

Ketika Presiden BJ Habibie mencabut Keppres pada era Presiden Soeharto terkait Jonggol sebagai Kota Mandiri, alasan yang dikedepankan karena Keppres itu dinilai memberi peluang terjadinya penyimpangan dan terjadinya KKN dalam pelaksanaannya.

Tidak hanya itu, alasan lainnya yang dikemukakan karena proyek itu jika diatur dengan Keppres terlalu tinggi, sehingga pengaturan melalui Keppres itu memberi peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan, hal itu pernah disampaikan mantan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional era Habibie, Hasan Basri Durin.

Durin juga menyampaikan tentang kemungkinan penyimpangan lain yang akan terjadi, seperti dalam hal tata ruang dan penyimpangan dalam hal pemberian fasilitas. Lalu, dengan dicabutnya Keppres tersebut, proyek Jonggol diserahkan kepada Gubernur Jabar.

Ketika itu disampaikan pula, pengembangan kawasan Jonggol di kabupaten Bogor itu terkait dengan perusahaan milik Bambang Trihatmodjo yakni PT Jonggol Asri. Bahkan saat itu telah pernah disebut-sebut akan dipindahkannya ibukota negara ke Jonggol.

 Dengan realitas seperti itu, maka PT Jonggol Asri bisa dipastikan urung mendapatkan keuntungan seperti yang telah lama dibayangkan. Maka tidaklah mengherankan jika keluarga Cendana pada akhirnya “memasang jarak” terhadap Habibie.

Hubungan “panas” tersebut, hingga kini belum sempat tercairkan. Meskipun Habibie pernah mencoba mencairkan hubungan itu dengan menjenguk Soeharto saat tak sadarkan diri karena sakit, tetapi tampaknya usaha presiden ketiga RI itu sia-sia saja.

Hingga saat mantan Presiden Soeharto meninggal dunia, hubungan antara Habibie dan keluarga Cendana gagal diselamatkan. Padahal sebelumnya, ketika Soeharto masih menjabat presiden RI, Habibie dijadikan “anak emas” presiden kedua RI itu.

Beralasankah jika keluarga Cendana bersikap seperti itu terhadap Habibie? Jika persoalan faktor ekonomi terkait Jonggol sebagai Kota Mandiri yang menjadi penyebabnya, maka bisa dihitung kerugiannya.

Andai pelaksanaan proyek tersebut lancar, maka PT Jonggol Asri akan mengelola lahan seluas 30 ribu hektare. Ketika kota mandiri tersebut dibangun, harga tanah di sana, tentu akan berlipat.

Seandainya harga tanah baru di kota mandiri Jonggol dipatok dengan harga rata-rata sekitar Rp 500 ribu, maka PT Jonggol Asri akan memanen uang sebesar Rp 15 triliun. Itu hanya dari tanah saja, lalu bagaimana dengan harga bangunan yang pengerjaannya juga akan dilaksanan perusahaan itu? Tentu uang yang akan didapatkan semakin berlipat-lipat.

Tapi mimpi itu kini sudah tidak mungkin lagi menjadi kenyataan, meski wacana Jonggol sebagai pusat pemerintahan masih berkembang, PT Jonggol Asri tidak akan pernah lagi mendapatkan keuntungan seperti perhitungan awalnya.

Namun dengan luas tanah yang hingga kini masih dikuasai PT Jonggol Asri, sekitar 11 ribu hektare, perusahaan itu bisa dipastikan masih menjadi pemain yang diperhitungkan di dalam pembangunan Jonggol sebagai pusat pemerintahan jika benar-benar diwujudkan.

Pada akhirnya, cepat atau lambat keluarga Cendana masih saja akan mendapatkan keuntungan besar terkait wilayah Jonggol. Tertundanya pembangunan Jonggol sebagai pusat pemerintahan, hanyalah penundaan sementara bagi keuntungan yang akan dinikmati keluarga Cendana.

Sumber : http://www.intelijen.co.id/liputan/1474-perebutan-sda-di-qbogor-timurq-jonggol-alternatif-pusat-pemerintahan-ri-3

0 comments:

Post a Comment